Review Buku I Want to Die but ...

Daftar Isi [Tampil]
    Review Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki ini aku buat awalnya untuk diikutsertakan sebuah kompetisi review. Tapi ternyata enggak selesai tepat waktu, hehe. Dan akhirnya posting di blog aja deh. Here we go...

    Review Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
    sumber gambar: penerbit haru

    I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

    Penulis: Baek Se Hee
    Penerjemah: Hyacinta Louisa
    Penerbit: Penerbit Haru
    ISBN: 978-623-7351-03-0
    Jumlah halaman: 236 halaman
    Cetakan pertama: Agustus 2019


    Katanya mau mati, kenapa malah memikirkan jajanan kaki lima? Apa benar kau ingin mati?
    Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?
    Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?
    Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri. 
     

    Sekilas buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

    I Want to Die, but I Want to Eat Tteokpokki ini adalah buku catatan pengobatan sang penulis (Baek Se Hee) saat berkonsultasi dengan psikiater. Baek Se Hee-ssi didiagnosis mengalami distimia atau gangguan distimik. Distimia ini adalah kondisi seseorang yang mengalami depresi ringan tetapi berkepanjangan dan terus menerus. Meskipun namanya ‘depresi’, distimia berbeda dengan gangguan depresi mayor yang menunjukkan gelaja berat. Ini

    Buku setebal 230an halaman ini berisi catatan percakapan penulis dengan psikiaternya. Memang benar berisi catatan percakapan. Hanya sekitar 20-30% saja yang bukan berupa percakapan. 

    Review buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

    Apa Pendapatmu Soal Buku Ini?

    Buku ini sebenarnya sudah sering berseliweran di media sosial. Tapi memang ketertarikanku dengan buku ini belum muncul juga. Bahkan ketika buku ini juga dibaca dan direkomendasikan salah seorang idol korea yang populer, belum juga membuatku menambahkannya dalam rak buku di rumah. Dan sebuah kompetisi review akhirnya membuatku checkout buku ini dari sebuah marketplace.

    Ketertarikanku saat pertama membaca buku ini, kareka kupikir buku ini adalah sebuah novel. Terbayang saja, kalau akan ada cerita seseorang yang ingin mati tetapi dia dihentikan oleh jajanan bernama tteokboki. Tapi ternyata, bukan sebuah novel.

    Buku ini berisi 12 bab yang berasal dari 12 pekan yang dilalui sang penulis saat berkonsultasi dengan psikiaternya. Sebenarnya, saat membaca akhirnya, akan terasa kalau belum selesai. Dan memang benar, karena buku ini berlanjut pada buku kedua. (Kalau yang ini aku belum baca) 

    Karena isinya yang sebagian besar percakapan, ya memang berisi tanya jawab antara sang penulis dengan psikiaternya. Atau mungkin bisa dibilang, seperti sesi curhat. Membaca lembar demi lembar, seperti mengintip isi kepala dari sang penulis, Baek Se Hee-ssi. Meski memang, tentu aslinya jauh lebih rumit.

    Apakah isinya rapi dan teratur? Hmmm ... ya karena isinya curhat, maka isinya memang sesuai keadaan dan situasi si penulis saat berkonsultasi dengan psikiater saat itu. Jadi memang tidak ada urutan atau tatanan baku di sana.

    Persoalan si penulis secara garis besar adalah tentang kekhawatirannya saat dipandang orang lain. Aku tidak tahu persis sih, apakah ini juga berhubungan dengan karakter orang Korea pada umumnya yang memang selalu sangat peduli dengan pandangan orang.

    Justru ketika membaca buku ini, aku jadi berpikir, ‘bagaimana kalau pertanyaan-pertanyaan si psikiater, ditanyakan padaku? Apakah aku akan memberikan jawaban yang sama dengan si penulis? Atau aku akan memberikan jawaban berbeda?’

    Kadang aku tergoda juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Memang ada beberapa bagian pertanyaan dalam buku ini yang menurutku bisa ditanyakan padaku. Tapi, kembali lagi, kalau hal ini tidak bisa dilakukan sembarang. Buku ini berisi konsultasi Baek Se Hee-ssi dengan seorang profesional. Artinya, aku tidak boleh dan tidak bisa melakukan hal yang sama pada diriku, tanpa didampingi profesional.

     Baca juga  Review Novel Mitomania: Sudut Pandang
     
    Ketertarikanku terhadap kesehatan mental, belakangan ini memang semakin banyak. Tetapi, sebuah kalimat bijak selalu mengingatkanku, ‘jangan membuat diagnosis sendiri. Seorang psikiater atau psikolog pun, perlu melakukan serangkaian sesi konseling serta mempelajari pasiennya sebelum memberikan diagnosi tertentu.’

    Kelebihan dan Kekurangan Buku I Want to Die, but I Want to Eat Tteokpokki

    Kalau bicara soal kelebihan dan kekuangan, tentu ini jadi jawaban personal. So, here we go

    Menurutku, kelebihan buku ini adalah bentuknya yang berupa percakapan. Metoda tanya dan jawab dalam buku ini membuatku lebih mudah menikmatinya, seperti memperhatikan orang mengobrol. Selain itu, beberapa kalimat dalam buku ini juga dicetak dengan efek stabilo, itu memudahkan aku untuk memahami inti percakapan mereka. Di akhir bab ada semacam kesimpulan atau rangkuman yang dibuat penulis untuk memudahkan pembaca memahami akhir dari sesi konsultasinya dengan psikiater.

    Meski demikian, ada beberapa hal yang menurutku kurang memuaskan dari buku ini. Karena merupakan hasil alih tulis dari percakapan menjadi tulisan, maka isi percakapan itu agak terkesan random. Ya namanya sesi curhat, memang random sih.

     
    Review Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
    sumber gambar: goodreads

    Kalau untuk sampulnya sendiri, aku suka. Perpaduan warna pink lembut dengan hijaunya cukup adem di mata. Saat aku coba googling, ternyata memang sampul buku aslinya juga seperti ini. Hanya lebih simpel karena judulnya ada di sisi buku saja. Berbeda dengan judul buku terbitan Indonesia yang mengisi sebagian besar halaman sampulnya.

    Baca juga Review Buku 30 Kisah Teladan Rasulullah

    Kesimpulan

    Jujur, aku butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikan buku ini. Meski awalnya menyenangkan karena ‘mengintip’ curhat seseorang, tapi lama kelamaan ada rasa bosan juga. Jadi aku berhenti dulu membaca dan baru melanjutkannya di waktu yang lain.

    Urusan kesehatan mental saat ini memang makin populer dibicarakan. Tidak heran jika buku ini juga jadi salah satu buku populer dan best seller di toko buku. Bagi sebagian orang, isi dari buku ini mungkin saja relevan.

    Tapi, sekali lagi aku ingatkan ya, jangan membuat diagnosis sendiri. Tiap orang itu unik dan berbeda. Kalau memang kamu memerlukan bantuan profesional, jangan ragu untuk datang dan melakukan konsultasi. Baca buku ini untuk memperkaya sudut pandangmu soal kesehatan mental, dan bukan untuk memberikan diagnosis sendiri.

    Terakhir, buku ini bisa jadi rekomendasi bagi kamu yang penasaran rumitnya pikiran orang yang mengalami distimia dan depresi. Juga, bagi kamu yang merasa ada sesuatu yang membuatmu perlu untuk menghubungi profesional, tetapi masih ragu untuk melakukannya.
    ‘Buku ini adalah catatan percakapan antara seorang pasien yang tidak sempurna, yang bertemu dengan seorang terapis yang tidak sempurna juga.’
    Selamat membaca.

    Tidak ada komentar:

    Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak di Blognya Bening Pertiwi. Mudah-mudahan postingan saya bisa bermanfaat dan menginspirasi kamu :)

    Note :

    Maaf komen yang brokenlink akan saya hapus jadi pastikan komentar kamu tidak meninggalkan brokenlink ya.

    Diberdayakan oleh Blogger.